PARIWISATA & PERANG
Perang fisik antara Rusia dan Ukraina pasti berdampak pada peta pariwisata global. Minimalnya, di kawasan regional mereka. Lantas, akankah itu merembet ke pariwisata nasional kita? Analisis ghoib saya kok mengatakan tidak. Karena pariwisata kita sudah lumpuh terlebih dahulu oleh serangan pandemi. Ibarat tawanan, pariwisata kita sudah tertawan dua tahun. Sehingga, jika ada agresor baru, ya, posisi pariwisata kita tinggal di-extend saja untuk mengikuti ritme agresor baru. Persis nasib bangsa ini, setelah Belanda kabur, diganti Jepang.
Dalam kamus pariwisata, force majure: seperti pandemi dan perang, jelas merupakan hantu yang mengerikan. Tapi, lantaran terlalu lamanya pariwisata berinteraksi dengan para hantu yang mengerikan itu, lama-lama malah jadi berteman. Gak takut lagi untuk memulai membuka diri. Dimulai dari bukanya bisnis skala terkecil yaitu para PKL dengan angkringan atau warungnya, dilanjut resto yang berani menggeliat kepermukaan, Ironisnya, yang menjadi hantu malah para petugas Covid di lapangan. Tarik-ulurpun terjadi. Endingnya, beberapa hotel berbintangpun telah membuka diri untuk berhadapan dengan pandemi.
So, biarkan Rusia menyelesaikan urusan internal mereka. Ini hanyalah sebuah Ego Kenegaraan bahwa secara politis Ukraina dipersilahkan merdeka tapi jangan bergabung dengan NATO. Harusnya, Presiden Ukraine belajar kamus Milineal Indonesia yang mengabriviasikan NATO sebagai No Action Talk Only.
Hehe.
JS. Budi