NARA (3)
Percaya, orang Jepang sendiri tidak banyak yang tahu bahwa Tokyo itu hanya de facto saja sebagai Ibu Kota Negara. Di Jepang, istilah “ibu kota” (shuto) baru dikenal setelah Perang Dunia II berakhir. Sebelumnya, Tokyo sejak tahun 1868 merupakan ibu kota kekaisaran (teito). Istilah “ibu kota” baru dikenal secara luas setelah ditetapkan Undang-undang Pembangunan Ibu Kota (Shuto kensetsu-hō) tahun 1950. Celakanya, secara politis, itu tiidak berlaku lagi setelah dikeluarkannya Undang-undang Konsolidasi Daerah Metropolitan (Shutoken seibi-hō) tahun 1959.
Endingnya, hingga kini, kedudukan Tokyo sebagai ibu kota Jepang tidak memiliki dasar hukum yang sah. Namun pada praktiknya, Tokyo diperlakukan sebagai ibu kota Jepang dalam penulisan hukum dan undang-undang.
Tokyo diperlakukan secara de facto sebagai ibu kota karena menurut Konstitusi Jepang, Kaisar Jepang merupakan “lambang negara Jepang dan simbol pemersatu rakyat Jepang” dan istana kaisar berkedudukan di Tokyo sampai saat ini. Selain itu, lembaga-lembaga pemerintah seperti Parlemen Jepang, Kantor Perdana Menteri (Kantei) dan Mahkamah Agung Jepang yang ditetapkan konstitusi sebagai “lembaga tertinggi negara” berada di distrik Chiyoda, Tokyo.
Timbulnya analisis nyeleneh saya ini berdasarkan pada ritme perputaran primordialisme individu, kelompok dan golongan yang ingin memecah ataupun menggabung dan bahkan mengembalikan nuansa kejayaan nenek moyang / leluhur ataupun faktor ego-sentrisme politik. Sehingga, tidak menutup kemungkinan bahwa suatu saat muncul gerakan-gerakan yang semakin mengkristal untuk “menarik” ibu kota dari Tokyo ke Nara kembali.
Perhatikan, setelah Kyoto yang hampir satu millenium sebagai teito, Kaisarpun sempat balik ke Nara. Selanjutnya, bergeser ke Tokyo mulai Mei 1868 hingga kini. Karena itu, wajar jika sekarang ada gerakan-gerakan yang menginginkan teito kembali ke Nara. Sebab Nara adalah pusat spiritual Budhisme dan Shinto. Plus, disitu ada Hutan Ghoib tempat para Dewa bersemayam ribuan tahun.
“Ketinggian analisis politik Sampeyan, Mas?” kata Junior saya.
“Kalau berpikir jangan terlalu tinggi, nanti ketabrak pesawat terbang!” celoteh Senior saya.
Saya cuma senyum seraya berdalih: “Mina Sama (Bro-terhormat), Anda nyadar gak? Didepan mata kita, Ibu Kota Negara Republik Indonesia tercinta ini akan dipindah ke tempat yang tidak ada asal-usul histori dalam pemetaan sebuah Ibu Kota Negara oleh segelintir orang. Paham?”
Aseli, saya puas tertawa sambil nggeloyor ambil es manggo milk di meja buffet.
Hehe.
JS. Budi
Foto: Istana Kaisar di Tokyo