Koran-Pariwisata.com, Pekalongan – Jagat maya dihebohkan dengan kasus pengusiran tamu di Hotel Indonesia Pekalongan. Seorang tamu bernama Mas Sahid mengaku dipaksa check-out lantaran menolak membayar biaya tambahan (surcharge) yang diminta pihak hotel, meski ia sudah melakukan pemesanan dan pelunasan melalui aplikasi Traveloka.
Kejadian bermula ketika Mas Sahid melakukan check-in. Ia dikenakan biaya tambahan sekitar Rp10 ribu oleh resepsionis. Penolakan muncul karena merasa telah melunasi seluruh biaya melalui aplikasi. Namun, tak lama setelah masuk ke kamar, Mas Sahid didatangi petugas hotel dan dipaksa keluar dengan alasan tidak mematuhi aturan hotel.
Tidak ingin memperpanjang konflik, Mas Sahid memilih keluar dan membagikan pengalamannya melalui media sosial. Postingannya langsung menuai reaksi keras netizen. Ribuan komentar bernada hujatan ditujukan kepada pihak hotel. Alhasil, rating Hotel Indonesia Pekalongan di berbagai platform pemesanan online anjlok drastis.
Menanggapi sorotan publik, pihak Hotel Indonesia Pekalongan akhirnya mengeluarkan klarifikasi resmi. Manajemen menyampaikan permintaan maaf kepada Mas Sahid, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Wali Kota Pekalongan, hingga Dinas Pariwisata setempat.
“Kami menyesalkan terjadinya insiden ini dan meminta maaf atas ketidaknyamanan yang dialami tamu,” tulis manajemen dalam pernyataannya.
Namun, publik menilai langkah permintaan maaf itu belum cukup. Di era media sosial, netizen Indonesia dikenal kritis dan cepat menyuarakan kekecewaan.
Kasus ini menjadi pelajaran berharga bahwa kesalahan kecil dapat berdampak besar bagi bisnis perhotelan. Hanya karena biaya tambahan yang relatif kecil, citra hotel bisa langsung terpuruk dalam sekejap.
Menurut pengamat pariwisata, hotel sebaiknya segera melakukan langkah pemulihan yang lebih nyata. “Bukan hanya klarifikasi. Pihak hotel bisa mengundang kembali Mas Sahid, meminta maaf secara langsung, bahkan melibatkan Traveloka, PHRI, Dinas Pariwisata, dan pemerintah daerah untuk menyaksikan. Publikasikan langkah ini agar publik percaya,” ujarnya.
Langkah konkret tersebut dinilai penting untuk mengembalikan kepercayaan calon tamu lain. Selain itu, juga untuk memastikan wisatawan tidak menganggap ada “biaya siluman” di hotel-hotel Pekalongan.
Kasus Hotel Indonesia Pekalongan menjadi peringatan bagi industri perhotelan di tanah air. Standar ganda dalam transaksi antara harga di aplikasi dengan biaya tambahan di lokasi—berpotensi merugikan konsumen dan mencoreng reputasi destinasi wisata.
“Salam pariwisata, jangan sampai karena uang recehan, citra pariwisata dan perhotelan daerah ikut tercoreng,” pungkasnya. (Red)