Ini memang debatable. Ada ambigu dalam teori dan prakteknya. Ketika Direksi BUMN (termasuk anak-cucu-cicitnya – red) mengambil keputusan untuk menjalankan roda perusahaan dengan tujuan mencari keuntungan, maka keputusannya itu, akan mengandung implikasi bisnis dan implikasi hukum. Apabila ternyata, keputusan itu membuat sebuah BUMN gagal atau merugi yang dimunculkan, maka seharusnya Direksi BUMN tersebut tidak dapat dituntut dengan UU Tipikor. Hal ini dikarenakan dalam dunia bisnis ada aturan Business Judgement Rule (BJR) yang mengatur tentang sanksi kepada Direksi.
Pertanggungjawaban tersebut tidak dapat dimintakan kepada Direksi BUMN apabila : 1) Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; 2) Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan; 3) Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan 4) Telah mengambil tindakan untuk mencegah dan timbul atau berlanjut kerugian tersebut.
Ini bermakna bahwa walaupun Perusahaan tersebut mengalami posisi DISCLIMER oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) ataupun MERUGI PARAH bahkan sedang di-PKPU-kan, selama tidak melakukan pelanggaran diatas, Direksi tersebut aman-aman saja. Paling dimutasi atau tidak dipakai lagi alias dipecat sewaktu atau setelah RUPS. Tidak ada jerat hukum.
Andai saja Direksi BUMN tersebut dipenjara gegara perusahaannya merugi, mungkin hanya ada 3 (tiga) macam manusia yang berani menjadi Direksi BUMN, yaitu: Orang Nekad, Kelompok Missquen yang sudah capai hidup di komunitasnya dan Orang yang sangat PD karena Perusahaannya tidak pernah mengalami track-record kerugian.
Pertanyaannya, kenapa keempat fatsal diatas begitu sakti sifatnya?
Jawabnya simpel, karena keempat fatsal tersebut merupakan nafas dari sebuah instrumen bernama Good Corporate Government (GCG), yaitu sebuah platform tata kelola perusahaan yang baik dan benar.
JS. Budi.