Batik Jambi: Mampukah Menjadi Kompetitor Estetik Dunia di Era Digital?

Oleh : Prof Dr Mukhtar Latif, MPd
(Tenaga Ahli Gubernur Jambi – Guru Besar Universitas Islam Negeri Sultan Thaha Syaifuddin Jambi)

Pengantar

Elevasi (pencapaian puncak) batik dari kerajinan regional menjadi tren tekstil global telah dipercepat secara signifikan di era digital. Badan Pendidikan, Keilmuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization/UNESCO) menetapkan batik sebagai Mahakarya Warisan Budaya Lisan dan Tak Benda Kemanusiaan.

Dengan demikian batik kini menempati posisi unik dalam fesyen (fashion). Popularitas bati di tingkat dunia menjembatani high culture (budaya besar) dengan gerakan pengadaan etis. Tren (kecenderungan) global saat ini ditandai tingginya permintaan narasi tekstil (textile narratives). Produk yang menawarkan konteks sejarah mendalam dan otentisitas yang dapat diverifikasi. Sngat kontras dengan anonimitas barang yang diproduksi massal (Miller, 2023, hlm. 45).

Era digital berfungsi bukan hanya sebagai pasar, tetapi sebagai medium disruptif (inovatif). Hal ini memungkinkan estetika regional mendapatkan paparan global secara instan. Pergeseran ini menuntut batik tetap kompetitif. Batik harus memanfaatkan platform (wadah) digital untuk mengomunikasikan bahasa visualnya yang kompleks dan integritas produksinya. Hal ini penting menarik keinginan konsumen modern akan cerita slow-fashion yang unik (Gere, 2024, hlm. 112).

Karakter Motif

Secara konseptual, “batik dunia” sering digunakan secara luas untuk menggambarkan teknik resist dyeing (pewarnaan tahan-celup) di Asia dan Afrika. Namun, tradisi Indonesia tetap menjadi standar estetika dan teknis global berkat proses canting dan malam (lilin) yang rumit serta makna filosofisnya yang mendalam (Peacock, 2022, hlm. 15). Setiap motif tradisional Jawa, seperti Kawung atau Sido Mukti, pada dasarnya adalah kode visual atau sistem semiotik yang mendikte tatanan kosmologis dan status sosial.

Kombinasi unik dari kompleksitas teknis dan kedalaman simbolis ini mengangkat Batik Indonesia melampaui sekadar pembuatan pola menjadi bentuk seni terapan tingkat tinggi. Karakter khas dari motif-motif ini sering diilhami oleh sinkretisme Jawa, kosmologi dan alam adalah pembeda estetika inti yang menetapkan nilai tingginya di pasar internasional (Barnes & Eicher, 2023, hlm. 305). Apresiasi global saat ini bukan hanya untuk keindahan motif tetapi untuk otentisitas budaya yang tertanam dalam setiap garis lilin (Picard, 2021, hlm. 77).

Hakikat Batik

Hakikat Batik di Indonesia secara inheren terikat pada ritual budaya dan warisan spiritual, berfungsi sebagai simbol perjalanan hidup dan kesinambungan sosial. Peranannya mencakup pakaian seremonial hingga ekspresi identitas pribadi. Hakikat ini terwujud melalui Kerja Manual (Manual Labor). Hal ini ditandai dengan proses hand-drawn (lukisan tangan) yang teliti mencontohkan kesabaran, presisi dan tautan meditatif antara pembatik (perajin) dan kain, memberikan nilai spiritual pada kain (Hobsbawm & Ranger, 2021, hlm. 89).

Warna Kosmik, yakni penggunaan pewarna alami, seperti nila dan cokelat soga, secara tradisional dikaitkan dengan konsep metafisik dan keseimbangan unsur-unsur alam (Ingersoll & Kligman, 2024, hlm. 55). Identitas Kultural, yakni batik bertindak sebagai dialek visual, segera mengidentifikasi asal regional pemakainya dan status sosial, sebuah fungsi budaya yang harus dipertahankan saat bertransformasi secara digital dan global (Schein, 2023, hlm. 18).

Mempertahankan hakikat ini, keterkaitan asli dengan ritual, proses, dan makna adalah hal yang terpenting, karena otentisitas adalah komoditas paling berharga dalam domain digital yang sangat kompetitif (Gere, 2024, hlm. 180).

Batik Jambi

Batik Jambi menyajikan kasus yang menarik sebagai calon kompetitor estetik global. Batik Jambi menawarkan narasi tandingan yang kuat terhadap gaya Jawa yang dominan. Keunggulan kompetitifnya terletak pada tiga faktor: narasi Melayu yang unik, palet warna yang cerah, dan motif naturalis yang khas (Fox, 2024, hlm. 11). Motif seperti Kapal Karam, Durian Pecah dan ikon Angso Duo (Angsa Kembar) diilhami oleh kekayaan flora, fauna dan dinamika sejarah Kerajaan Melayu Jambi kuno (Wong, 2025, hlm. 32).

Berbeda dari motif filosofis geometris Jawa Tengah yang cenderung tertahan, Batik Jambi lebih ekspresif, naturalis dan berani secara visual merefleksikan lingkungan tropis dan budaya perdagangan pesisir yang historis (Lim, 224, hlm. 58). Untuk berhasil bersaing secara global, Batik Jambi harus menerapkan strategi digital multi-aspek:

Penceritaan Digital Otentik. Hal ini bia dilakukan dengan membuat konten digital berkualitas tinggi, mudah dicerna yang menghubungkan motif Angso Duo langsung ke legenda Kerajaan Jambi. Hal ini memberikan kedalaman naratif yang diminati konsumen global.

Kolaborasi Estetika (Crossover), yakni melakukan kolaborasi strategis dengan desainer internasional untuk memperkenalkan estetika berani Jambi ke dalam lini fesyen kontemporer, menjaga keseimbangan antara tradisi (motif) dan inovasi (potongan) (Wilson, 2023, hlm. 98).

Transparansi dan Keberlanjutan. Hal ini menekankan sumber etis kerajinan dan penggunaan pewarna alami melalui transparansi digital, memanfaatkan permintaan global untuk pakaian warisan yang berkelanjutan (Clark, 2024, hlm. 15).

Peluang Batik Jambi terletak pada kemampuannya untuk menawarkan alternatif Melayu yang estetis terdeferensiasi, bersemangat, dan kaya sejarah, mendisrupsi pasar saat ini yang didominasi oleh klasikisme Jawa.

Penutup

Batik Jambi memiliki modal budaya dan keunikan estetika yang diperlukan untuk berhasil sebagai kompetitor di pasar global digital. Langkah yang diperlukan adalah menerjemahkan narasi spiritual dan alamiah yang terlokalisasi ini secara strategis menjadi aset digital yang menarik. Dengan storytelling (pemaparan) yang kuat dan presentasi visual yang menawan, Batik Jambi tidak hanya akan bersaing, tetapi juga memperkaya khazanah estetika dunia. (Berbagai Sumber).