Oleh : Prof Dr Mukhtar Latif, MPd
(Guru Besar dan Ketua Senat Universitas Islam Negeri Sultan Thaha Syaifuddin Jambi)
Pendahuluan
Tanah Melayu Jambi, provinsi yang dibentengi hutan, dialiri sungai dan diberkahi kekayaan alam yang melimpah merupakan salah satu daerah kaya di Sumatera. Jambi merupakan kepingan surga yang ditaburi potensi. Kita bicara tentang minyak, gas, sawit, emas, karet dan batu bara yang semuanya berputar dalam roda ekonomi daerah ini. Angkanya, fantastis. Perputaran uang dari sektor-sektor Sumber Daya Alam (SDA) utama ini diperkirakan dapat mencapai Rp 300 triliun per tahun (BPS Jambi, 2024).
Namun, di tengah gemerlapnya angka triliunan itu, ada sebuah pertanyaan kritis yang harus kita hadapi dengan jujur. Mengapa kekayaan alam yang sedemikian besar belum mampu mengangkat mutu pendidikan dan kualitas hidup masyarakat Jambi secara fundamental ? Di sinilah ProJambi Cerdas hadir, bukan sebagai sekadar program, melainkan sebagai sebuah paradigma pembangunan transformatif (Latif, 22: 45).
Paradigma ini menuntut kita untuk menggeser tuas prioritas. Prioritas dari program berbasis eksploitasi SDA, sebuah aset yang finite atau terbatas, menuju pembangunan yang menempatkan Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai kapital utama yang infinite dan berkelanjutan (Drucker, 2023: 112).
Peningkatan mutu pendidikan merupakan jantung dan mesin percepatan ProJambi Cerdas. Kita harus menciptakan generasi yang mampu mengelola kekayaan yang Rp 300 triliun itu dengan kepala yang cerdas dan hati yang berintegritas.
Peta Pendidikan
Sebelum melangkah, mari kita petakan sejenak posisi pendidikan Jambi dengan data paling mutakhir. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah tolok ukur utama yang kita gunakan. Data resmi terbaru menunjukkan bahwa IPM Provinsi Jambi pada tahun 2024 mencapai 74,36. Angka ini menempatkan Jambi di bawah rata-rata nasional (74,39) dan berada di Peringkat ke-18 secara nasional (BPS, 2024).
Lebih kritis lagi, di tingkat regional, Jambi cenderung berada di tiga besar terbawah di antara 10 provinsi di Sumatera. Provinsi pesaing kita di Sumatera terbukti lebih unggul dalam mengkonversi potensi ekonomi menjadi kualitas pembangunan manusia.
Selain IPM, mari kita lihat Rata-Rata Lama Sekolah (RLS), indikator yang menunjukkan tingkat pendidikan formal penduduk dewasa Jambi. RLS Jambi berada di angka 8,72 tahun. Ini berarti rata-rata penduduk dewasa Jambi belum menamatkan bangku SMP, sebuah fakta yang memprihatinkan. Angka ini juga di bawah rata-rata Sumatera (9,15 tahun).
Kondisi ini menunjukkan adanya disparitas atau misalignment yang mencolok. Logika sederhana berbisik, sebuah daerah dengan potensi pendapatan ratusan triliun per tahun seharusnya memiliki kualitas SDM yang jauh lebih unggul daripada rata-rata nasional, bukan malah setara dengan status lulusan SMP.
Peta pendidikan kita memanggil kita untuk mengubah status dari provinsi kaya SDA yang mutu pendidikannya biasa saja, menjadi provinsi yang kekayaan alamnya didukung oleh SDM yang “luar biasa cerdas”. Ini adalah spirit yang menyala ProJambi Cerdas. Akankah spirit ini dapat diwujudkan? Inilah tantangan perjuangan, pengabdian untuk negeri tanah Melayu Jambi, yang menjadi dambaan dari masa dulu hingga sekarang.
Rendahnya Mutu
Rendahnya mutu pendidikan di Jambi tidak berdiri sendiri. Ia dipengaruhi oleh faktor-faktor struktural yang diperparah oleh konteks daerah penghasil SDA. Untuk memperbaiki mutu pendidikan, kita harus tahu apa yang rusak. Kerusakan tersebut antara lain terjadi pada kKesenjangan sarana dan prasarana (Sarpras) digital dan fisik.
Di satu sisi, ada truk-truk batu bara hilir mudik. Tetapi di sisi lain, masih banyak sekolah di pelosok yang kekurangan ruang kelas layak, laboratorium memadai dan akses internet stabil (Kementerian Pendidikan, 2024). Kesenjangan ini menciptakan digital divide yang semakin lebar.
Kualitas dan distribusi guru yang belum optimal. Guru-guru terbaik cenderung terkonsentrasi di kota, meninggalkan kekosongan guru bidang studi spesialis di daerah terpencil (Ahmad & Chen, 2024). Kurangnya in-service training yang relevan dan minimnya insentif bagi guru-guru di garis depan turut mengurangi profesionalisme (UNESCO, 2022).
Ancaman Resource Curse (Kutukan Sumber Daya): Secara sosiologis, kekayaan SDA yang mudah diakses kadang menciptakan “budaya instan” (Sutopo, 2021). Masyarakat, termasuk anak muda, melihat peluang kerja di sektor ekstraktif, meskipun hanya sebagai pekerja kasar, lebih menarik dan cepat menghasilkan uang daripada menempuh pendidikan tinggi yang panjang. Hal ini melemahkan motivasi belajar dan mengurangi daya saing jangka panjang.
Senjangnya akses pendidikan dan lapangan kerja, yang makin menganga membuat bertambahnya angka putus sekolah dan rendahnya partisipasi pendidikan masyarakat. Kondisi tersebut menyebabkan meningkatnya pengangguran dan angka kemiskinan di Jambi.
Capital flight (larinya uang) Jambi yang besar Keluar daerah bahkan ke luar negeri, makin memposisikan masyarakat Jambi menjadi penonton atas kekayaan sumber daya alamnya sendiri, yang tidak dikelola dan tidak berdaya bagi pembangunan SDM Jambi.
Belum Seimbang
Penggalian SDA dengan pengembangan SDM di Jambi belum seimbang. Ini menunjukkan adanya fenomena capital flight (biaya menguap). Inilah titik paling krusial. Kita mengakui angka Rp 300 triliun dari SDA adalah nyata. Ini adalah modal. Namun, sebagian besar kekayaan ini menciptakan apa yang disebut “ekonomi kantong bocor”.
Fenomena ini, yang dikenal sebagai “capital flight”. Berarti keuntungan besar dari perusahaan-perusahaan ekstraktif (migas, sawit, batu bara, karet, emas, bubur kertas, dll) sebagian besar lari mengalir keluar dari Jambi, baik ke pusat maupun ke luar negeri, melalui transaksi perusahaan induk (Ali, 2023).
Uang fantastis itu hanya “mampir” sebentar di Jambi, digunakan untuk biaya operasional dan upah minimum. Tetapi gagal diinvestasikan kembali secara memadai untuk membangun infrastruktur kecerdasan manusia. Capital flight ini meninggalkan Jambi sebagai penyedia bahan mentah, sementara peluang kerja bernilai tinggi (teknisi ahli, manajer, peneliti) diisi oleh SDM dari luar.
Solusi
Solusinya? SDM Jambi harus “lebih mahal” dan “lebih cerdas” daripada SDM dari luar. Kita butuh lulusan yang mampu melakukan hilirisasi. SDM kita harus mampu mengubah minyak mentah sawit (Crude Palm Oil/CPO) menjadi produk bernilai tambah di Jambi. Kemudian SDM kita juga harus mampu melakukan negosiasi kontrak, memastikan bagi hasil SDA yang lebih adil bagi daerah.
Selanjutnya, SDM daerah kita juga harus mampu mengembangkan sektor alternative, menciptakan pariwisata atau ekonomi kreatif sebagai penyeimbang keberlanjutan ekonomi (Smith, 2025). Meninjau kembali agrimen yang telah disepakati masa lalu dalam perspektif pengelolaan dan pemberdayaan SDA Jambi kekinian dan masa depan.
Kita juga harus mampu membuka akses SDM Jambi dalam hal bekerja untuk mandiri menolong dirinya ditanah kelahiran, negeri tempat hidup dan matinya, berbasis potensi SDA lokal. Kemudian memperbesar ruang hilirisasi oleh perusahaan yang menggali SDA di bawah koordinasi pemerintah daerah secara terpadu. Hal ini penting agar akses kerja, sebagai tempat pengabdian SDM seimbang dengan penggalian SDA di Jambi.
Kita juga harus bisa memperbesar kesempatan masyarakat melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi, baik bidang sains, sosial dan vokasi dengan memperbesar beasiswa pendidikan yang layak, sehingga partisipasi pendidikan akan terdorong dan aegera meningkat. Tanpa gerakan percepatan, mutu pendidikan Jambi akan selamanya berada dalam lingkaran setan resource curse berkelanjutan.
Percepatan peningkatan mutu pendidikan harus didasarkan pada fondasi teoritis yang kokoh. Kita mengambil inspirasi dari Human Capital Theory (Becker, 2021: 88), di mana pendidikan adalah investasi terbaik, dan Theory of Constraints (Goldratt, 2020), di mana kita fokus mengatasi hambatan terbesar (bottleneck).
Negara Maju
Pengalaman negara maju dan berkembang mengelola SDA dan SDM untuk percepatan dan peningkatan mutu pendidikan di Jambi bisa diterapkan. Kita tidak perlu menciptakan roda baru. Cukup belajar dari negara-negara yang telah berhasil mengatasi resource curse.
Model Norwegia, yakni menyiapkan Dana Abadi Pendidikan. Negara kaya minyak ini mendirikan Government Pension Fund Global. Jambi harus mendirikan “Dana Abadi Pendidikan Jambi Cerdas” bukan dana habis tiap tahun dari persentase tetap yang Rp 300 triliun itu (OECD Report, 2023). Dana ini memastikan bahwa kekayaan SDA yang akan habis ini harus tetap menghasilkan investasi untuk membiayai kualitas SDM Jambi selamanya.
Model Singapura, Investasi pada Guru dan Pendidikan. Singapura menunjukkan bahwa mutu pendidikan berbanding lurus dengan kualitas dan penghargaan terhadap guru. Serta tersedianya dana abadi khusus untuk menjaga pendidikan.
Mereka punya program insentif dan tunjangan yang luar biasa bagi guru-guru profesional yang bersedia mengabdi di daerah terpencil dan/atau kawasan industri, memastikan SDM terbaik ada di sekolah-sekolah kita (Ministry of Education Singapore, 2024). Selain ada dana yang siap dialokasikan untuk memelihara sekolah-sekolah yang tidak layak pakai, dalam hal sarana dan prasarana.
Model Finlandia, Otonomi dan Relevansi Kurikulum. Finlandia sukses karena memberikan otonomi besar kepada guru untuk menyesuaikan pembelajaran dengan konteks siswa (Sahlberg, 2021: 15). Jambi harus memberikan ruang bagi sekolah untuk mengembangkan kurikulum muatan lokal berbasis SDA lokal dan mitigasi dampak lingkungan.
Jambi harus mempersiapkan anak-anak untuk menjadi ahli yang akan meregenerasi dan mengelola alam Jambi dengan bijak. Utamanya di daerahnya sendiri. Tentu saja ada komitmen antara pemerintah daerah dengan swasta yang bergerak di sektor SDA lokal. Swasta juga siap memberdayakan sdm lokal ini di daerahnya sendiri.
Penutup
Percepatan ProJambi Cerdas dalam peningkatan mutu pendidikan merupakan amanat dan mandat sejarah. Hal itu menjadi sebuah keharusan yang mesti segera dieksekusi dan dikawal bersama-sama. (Latif, 2025). Dengan potensi putaran ekonomi Rp 300 triliun per tahun, SDA Jambi memiliki modal finansial yang lebih dari cukup untuk melakukan lompatan kualitas. Kenyataan bahwa IPM kita masih di peringkat 18 nasional dan RLS kita belum menamatkan SMP (data BPS 2024) adalah realitas sosial yang harus segera direspons.
Kita tidak boleh membiarkan kekayaan alam yang fantastis ini terus menguatkan fenomena capital flight. Kita tidak bisa membiarkan uang berputar keluar dan kita hanya menyisakan kerusakan lingkungan.
Sebaliknya, kita harus menggunakannya untuk menciptakan kapital manusia yang kuat, yang mampu mengkonversi kekayaan mentah menjadi nilai tambah di Jambi. Jambi Cerdas dimulai dari ruang kelas yang bermutu. Mari kita ubah potensi Rp 300 triliun menjadi investasi permanen dalam kecerdasan dan kesejahteraan generasi Jambi yang akan datang. (Berbagai Sumber).